Dailyposnesia, Aceh Tamiang – Kepedulian terhadap korban bencana banjir bandang di Aceh Tamiang terus mengalir. Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Masjid Assalam, Komplek Buaran Regency, Pondok Kelapa, Jakarta Timur, bersama Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Waktu Indonesia Bergerak (WIB) Provinsi Sumatera Utara, menyalurkan bantuan kemanusiaan ke sejumlah wilayah terdampak yang tergolong sulit dijangkau.
Penggalangan dan penyaluran bantuan ini dipimpin langsung oleh Ketua DPW WIB Sumatera Utara, Agustin Malik, SE. Bantuan tersebut diperuntukkan bagi masyarakat yang menjadi korban banjir bandang di Kabupaten Aceh Tamiang, wilayah yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.
Adapun bantuan yang disalurkan meliputi bahan makanan, minuman, pakaian layak pakai, tikar, susu, serta berbagai kebutuhan pokok lainnya. Penyaluran dilakukan hingga ke daerah pelosok yang selama ini minim tersentuh bantuan, seperti Kecamatan Rantau, Kampung Durian, Kampung Lalang, hingga kawasan kebun ubi di wilayah Aceh Tamiang.
Agustin Malik menjelaskan bahwa fokus utama penyaluran bantuan ini adalah membantu warga yang berada di lokasi terpencil dengan akses yang sangat terbatas akibat kerusakan infrastruktur pascabanjir.
“Kami bersama DKM Masjid Assalam menggalang donasi untuk membantu saudara-saudara kita di Aceh Tamiang, khususnya di daerah pelosok yang sulit dijangkau. Banyak jalan dan jembatan rusak berat akibat terjangan banjir lumpur bercampur material kayu, sehingga distribusi bantuan menjadi tantangan tersendiri,” ujar Agustin Malik.
Ia juga memaparkan bahwa kondisi di lokasi bencana masih sangat memprihatinkan. Banyak warga yang terpaksa bertahan hidup dalam kondisi minim fasilitas, bahkan harus tinggal di tenda darurat dengan penerangan yang sangat terbatas.
“Perjalanan menuju lokasi yang biasanya hanya memakan waktu sekitar empat jam, kali ini harus ditempuh hingga sembilan jam. Medan yang berat dan akses jalan yang rusak membuat perjalanan menjadi sangat sulit. Kami tiba di lokasi pada Minggu, 15 Desember 2025, dan kondisi di lapangan sungguh memprihatinkan,” jelas pria yang akrab disapa Agus itu.
Menurutnya, lingkungan di sekitar lokasi bencana dipenuhi bau tidak sedap akibat endapan lumpur bercampur material kayu dan sampah yang telah membusuk selama berminggu-minggu. Minimnya penerangan membuat suasana semakin gelap dan mencekam, terutama pada malam hari, ditambah hujan yang masih kerap turun.
“Di beberapa titik bahkan tidak terlihat tim penyelamat yang siaga. Warga hidup dalam kondisi serba terbatas, ini bukan cerita fiksi, tapi kenyataan yang mereka hadapi setiap hari,” ungkapnya dengan nada prihatin.
Dalam kesempatan tersebut, Agustin Malik juga mengimbau para relawan dan pihak yang akan menyalurkan bantuan agar memperhatikan kebutuhan penerangan dan kesehatan warga pengungsian.
“Kami berharap setiap bantuan yang disalurkan turut menyertakan lilin atau alat penerangan lainnya, serta obat nyamuk, baik oles, semprot, maupun bakar. Saat ini diperkirakan hanya sekitar 20 persen wilayah pengungsian yang memiliki penerangan memadai di malam hari,” harapnya.
Lebih jauh, Ketua DPW WIB Sumatera Utara tersebut juga menyampaikan sikap tegas terhadap praktik pembalakan hutan yang dinilai menjadi salah satu penyebab terjadinya banjir bandang di wilayah tersebut.
“Kami mengecam keras segala bentuk penebangan hutan secara masif yang mengabaikan keselamatan manusia, baik yang dilakukan oleh perusahaan milik negara maupun swasta. Kami meminta kepada Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, agar mencabut izin usaha perusahaan-perusahaan perusak hutan dan menuntut pertanggungjawaban penuh atas bencana yang telah terjadi,” tegasnya.
Ia menambahkan, pihaknya bersama masyarakat akan terus mengawal dan menyoroti persoalan ini hingga keadilan benar-benar dirasakan oleh masyarakat terdampak.
“Kami ingin hutan di Sumatera kembali hijau. Kami tidak membutuhkan perkebunan yang berlebihan, yang kami butuhkan adalah kehidupan yang aman, damai, dan nyaman tanpa ancaman bencana yang sewaktu-waktu bisa menenggelamkan wilayah kami,” pungkasnya.
Berikut rilis berita versi berbeda redaksi dan susunan kalimat, namun tetap menjaga inti, fakta, dan pesan yang sama, serta aman untuk dipublikasikan media:
DKM Masjid Assalam dan DPW WIB Sumut Salurkan Bantuan ke Wilayah Terpencil Korban Banjir Bandang Aceh Tamiang
Aceh Tamiang | Kepedulian terhadap korban bencana banjir bandang di Aceh Tamiang terus mengalir. Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Masjid Assalam, Komplek Buaran Regency, Pondok Kelapa, Jakarta Timur, bersama Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Waktu Indonesia Bergerak (WIB) Provinsi Sumatera Utara, menyalurkan bantuan kemanusiaan ke sejumlah wilayah terdampak yang tergolong sulit dijangkau.
Penggalangan dan penyaluran bantuan ini dipimpin langsung oleh Ketua DPW WIB Sumatera Utara, Agustin Malik, SE. Bantuan tersebut diperuntukkan bagi masyarakat yang menjadi korban banjir bandang di Kabupaten Aceh Tamiang, wilayah yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.
Adapun bantuan yang disalurkan meliputi bahan makanan, minuman, pakaian layak pakai, tikar, susu, serta berbagai kebutuhan pokok lainnya. Penyaluran dilakukan hingga ke daerah pelosok yang selama ini minim tersentuh bantuan, seperti Kecamatan Rantau, Kampung Durian, Kampung Lalang, hingga kawasan kebun ubi di wilayah Aceh Tamiang.
Agustin Malik menjelaskan bahwa fokus utama penyaluran bantuan ini adalah membantu warga yang berada di lokasi terpencil dengan akses yang sangat terbatas akibat kerusakan infrastruktur pascabanjir.
“Kami bersama DKM Masjid Assalam menggalang donasi untuk membantu saudara-saudara kita di Aceh Tamiang, khususnya di daerah pelosok yang sulit dijangkau. Banyak jalan dan jembatan rusak berat akibat terjangan banjir lumpur bercampur material kayu, sehingga distribusi bantuan menjadi tantangan tersendiri,” ujar Agustin Malik.
Ia juga memaparkan bahwa kondisi di lokasi bencana masih sangat memprihatinkan. Banyak warga yang terpaksa bertahan hidup dalam kondisi minim fasilitas, bahkan harus tinggal di tenda darurat dengan penerangan yang sangat terbatas.
“Perjalanan menuju lokasi yang biasanya hanya memakan waktu sekitar empat jam, kali ini harus ditempuh hingga sembilan jam. Medan yang berat dan akses jalan yang rusak membuat perjalanan menjadi sangat sulit. Kami tiba di lokasi pada Minggu, 15 Desember 2025, dan kondisi di lapangan sungguh memprihatinkan,” jelas pria yang akrab disapa Agus itu.
Menurutnya, lingkungan di sekitar lokasi bencana dipenuhi bau tidak sedap akibat endapan lumpur bercampur material kayu dan sampah yang telah membusuk selama berminggu-minggu. Minimnya penerangan membuat suasana semakin gelap dan mencekam, terutama pada malam hari, ditambah hujan yang masih kerap turun.
“Di beberapa titik bahkan tidak terlihat tim penyelamat yang siaga. Warga hidup dalam kondisi serba terbatas, ini bukan cerita fiksi, tapi kenyataan yang mereka hadapi setiap hari,” ungkapnya dengan nada prihatin.
Dalam kesempatan tersebut, Agustin Malik juga mengimbau para relawan dan pihak yang akan menyalurkan bantuan agar memperhatikan kebutuhan penerangan dan kesehatan warga pengungsian.
“Kami berharap setiap bantuan yang disalurkan turut menyertakan lilin atau alat penerangan lainnya, serta obat nyamuk, baik oles, semprot, maupun bakar. Saat ini diperkirakan hanya sekitar 20 persen wilayah pengungsian yang memiliki penerangan memadai di malam hari,” harapnya.
Lebih jauh, Ketua DPW WIB Sumatera Utara tersebut juga menyampaikan sikap tegas terhadap praktik pembalakan hutan yang dinilai menjadi salah satu penyebab terjadinya banjir bandang di wilayah tersebut.
“Kami mengecam keras segala bentuk penebangan hutan secara masif yang mengabaikan keselamatan manusia, baik yang dilakukan oleh perusahaan milik negara maupun swasta. Kami meminta kepada Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, agar mencabut izin usaha perusahaan-perusahaan perusak hutan dan menuntut pertanggungjawaban penuh atas bencana yang telah terjadi,” tegasnya.
Ia menambahkan, pihaknya bersama masyarakat akan terus mengawal dan menyoroti persoalan ini hingga keadilan benar-benar dirasakan oleh masyarakat terdampak.
“Kami ingin hutan di Sumatera kembali hijau. Kami tidak membutuhkan perkebunan yang berlebihan, yang kami butuhkan adalah kehidupan yang aman, damai, dan nyaman tanpa ancaman bencana yang sewaktu-waktu bisa menenggelamkan wilayah kami,” pungkasnya. (Tim)






