Dailyposnesia, SUMUT – Salah satu perusahaan hutan tanaman industri besar yang berada di ekosistem Danau Toba dan sekitarnya yakni PT Toba Pulp Lestari (TPL) telah melahirkan berbagai polemik dimana aktivitas perusahaan tersebut telah melakukan praktik deforestasi selama puluhan tahun.
“Bagi WALHI Sumatera Utara, kehadiran perusahaan ini melahirkan berbagai macam polemik. Salah satu yang nyata adalah praktik alih fungsi berskala besar di dalam kawasan hutan Bentang Tele. Bentang Tele memiliki fungsi ekologis yang sangat penting untuk kawasan Danau Toba. Kawasan hutan terakhir yang masih mungkin diselamatkan dari ancaman TPL, untuk memastikan keberlanjutan stabilisasi iklim dan kontrol debit air Danau Toba, danau vulkanik terluas di dunia,” kata Direktur Eksekutif WALHI Sumut, Rianda Purba dalam keterangan tertulisnya, Rabu (5/11).
Bentang ini ungkap dia sedang menghadapi ancaman baik legal via konsesi tebang milik TPL seluas ±68.000 hektar, maupun ilegal oleh perusahaan-perusahaan kayu di sekitar kawasan itu.
Selain itu, Bentang Tele ini juga punya fungsi penting untuk memastikan keselamatan puluhan desa di pinggiran Danau Toba. Kampung-kampung di lembah pulau Samosir menggantungkan hidupnya pada kelestarian hutan ini karena menjadi sumber air untuk mengairi persawahan dan kebutuhan air minum.
Di samping itu, kerusakan Tele berpotensi menimbulkan longsor di sepanjang tebing tempat warga bermukim.
Hancurnya Bentang Tele telah menyebabkan rusaknya pohon endemik haminjon (kemenyan) yang telah dikelola masyarakat adat selama ratusan tahun.
“Pohon sensitif itu tidak lagi mengeluarkan getahnya dengan baik akibat perubahan suhu rata-rata di kawasan hutan. Di kawasan Bentang Tele 5.300 hektar lahan telah dikembalikan ke masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta, pada Desember 2016 yang lalu. Namun, langkah itu sedikit terlambat karena kawasan luas ini sebagian besar telah dihancurkan oleh TPL, hal yang mempengaruhi perubahan suhu udara rata rata di pinggiran hutan,” terangnya.
Menurut perhitungan valuasi ekonomi di masyarakat lanjut dia potensi kerugian masyarakat yang ditimbulkan oleh konflik tenurial di tanah seluas 25.000 hektar di pinggiran hutan Bentang Tele tersebut mencapai Rp 132 milyar per tahun. Agenda besar pembangunan kawasan Danau Toba sebagai super prioritas destinasi wisata nasional akan berdampak rumit karena agenda ini akan menambah beban kawasan yang selama ini telah dieksploitasi oleh perusahaan kehutanan yang menebangi hutan alam secara masif dan budidaya ikan di perairan yang melampaui daya dukung Danau Toba.
Oleh karena itu pemulihan dan penyelamatan Bentang Tele menjadi keharusan. Agenda pemulihannya harus melibatkan perspektif ekologi dan sosial, untuk memastikan bukan hanya penyelamatan lokasi-lokasi hutan adat saja yang dilakukan.
“Berdasarkan hasil analisis spasial yang dilakukan oleh Walhi Sumatera Utara, kami mengidentifikasi bahwa aktifitas TPL berkontribusi terhadap deforestasi skala besar yang terjadi di Bentang Alam Tele,” sebutnya.
Melalui pengindraan jarak jauh dengan bahan citra sentinel yang kemudian di-overlay-kan dengan izin TPL sambung dia Walhi Sumatra Utara menemukan bahwa setidaknya 22.000 Ha kawasan hutan di Bentang Alam Tele sudah dihancurkan oleh TPL dan kemudian ditanami eukaliptus dengan sistem perkebunan monokultur.
Dari total 22.000 Ha hutan yang dihancurkan, 4.000 Ha di antaranya berada di dalam kawasan hutan lindung. Berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 Pasal 1 ayat 8 dituliskan bahwa “Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah instrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah“.
“Tindakan perusakan kawasan hutan lindung yang dilakukan oleh TPL di Bentang Alam Tele menjadi indikasi yang kuat bahwa korporasi itu telah melakukan perbuatan melanggar hukum dan seharusnya di hukum atas perbuatannya. Namun, faktanya sampai hari ini pemerintah belum mengambil tindakan atas dugaan perbuatan melanggar hukum ini,” bebernya.
Walhi Sumatera Utara menduga adanya pembiaran yang dilakukan oleh pemerintah atas dugaan perusakan kawasan hutan lindung yang dilakukan TPL sehingga menyebabkan meluasnya asumsi liar di luar sana bahwa perusahaan HTI ini memang sengaja dilindungi untuk kepentingan investasi.
*WALHI Sumatera Utara mendesak Pemerintah Republik Indonesia untuk mencabut izin PT Toba Pulp Lestari karena perusahaan tersebut menyebabkan kerusakan lingkungan dan telah meminggirkan, serta mencerabut hak-hak masyarakat adat. Kami tidak mau lagi ada hutan yang rusak, banjir, dan krisis sosial – ekologis, serta isu pelanggaran hak asasi manusia dan hak-hak masyarakat adat,” kata Rianda. (Rel/ Tim)






